Headlines News :
Home » » Asal-muasal Perayaan Maulid Nabi

Asal-muasal Perayaan Maulid Nabi

Written By DhIka Love Dhea on Selasa, 29 Januari 2013 | 01.10





بوي ﴾ ا و ﴿ أول من أحدث بدعة ا
[ Indonesia – Indonesian – [ إندون
Ibnu Rajab al Hanbali
Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri
Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2010 - 1431
2
بوي ﴾ ا و ﴿ أول من أحدث بدعة ا
« سية لغة الإندون با »
نب   وظائف لابن رجب ا ( واسم العام من ا عارف فيما سة من كتاب : لطائف ا مقت
ري 4 و5 ز ا 7 ة لعبدالله بن عبدالعز 9 و  دع ا ; تاب ا < و
ة: شفر أبو دفاع = تر
انتو و هار " اد إي راجعة: أبو ز ?
2010 - 1431
3
Asal-muasal Perayaan Maulid Nabi
Tidak diragukan bahwa para sahabat adalah orang yang paling
mencintai Rasulullah , paling peduli dalam meneladaninya dan paling
mengetahui sunah Nabi . Mereka diridoi Allah atas kepedulian dan
kecintaan yang sangat kepada Rasulullah . Tidak ada berita sama sekali
bahwa salah seorang dari mereka merayakan hari kelahiran Nabi ,
demikian pula tiga kurun pertama. Tidak terekam satupun berita yang
tertulis di dalam kitab sejarah akan adanya perayaan itu pada kurun
tersebut.
Ini membuktikan bahwa perayaan Maulid Nabi ada setelah masa generasi
utama.
Pencetus bid'ah perayaan Maulid Nabi adalah sekte Batiniah. Lebih
spesifik kaum yang merupakan peletak dasar dakwah batiniah yang
disebut dengan Bani al-Qodâh. Mereka menyebut diri mereka dengan
Fâtimiyîn, menisbatkan diri secara culas kepada putri Ali ibn Abi Thalib .
Kakek mereka bernama Maimûn ibn Disôn al-Qodâh yang merupakan
budak laki-laki dari Ja'far ibn Muhammad Shâdiq.
Maimûn berasal dari al-Ahwâz. Dia adalah pelopor mazhab Batiniah yang
arogan di Irak. Kemudian pindah ke Magrib dan menasabkan diri kepada
Uqoil ibn Abu Thalib dan mengklaim bahwa dia berasal dari
keturunannya.
Ketika orang-orang Ghulat Râfidhah (Syi'ah ekstrim) menyambut seruan
ajarannya, dia mengaku sebagai putra dari Muhammad ibn Ismail ibn
Ja'far ash-Shâdiq. Orang-orang Syi'ah itupun menerimanya, dengan
persepsi bahwa Muhammad ibn Ismail bin Ja'far ash-Shâdiq wafat tanpa
memiliki keturunan. Diantara yang mengikuti ajaran ibn Dishân al-Qodâh
seorang lelaki yang disebut dengan Hamdân Qirmith dan kepadanyalah
nantinya dinasabkan sekte al-Qorômithoh.
4
Hari demi hari bergulir, mereka yang familier dengan Maimun
mengenalnya sebagai Sa'id bin al-Husain ibn Abdullah ibn Maimun ibn
Dishân al-Qodâh, sehingga diapun merubah nama dan nasabnya. Dia
mengatakan kepada pengikutnya: "Aku adalah Ubaidillah ibn al-Hasan ibn
Muhammad ibn Ismâîl ibn Ja'far ash-Shâdiq, yang seterusnya
menyebarlah ajaran sesatnya di Magrib.
Ibnu Khalkân berkata dalam kitab al-Wafiyât al-A'yân:
"Para pakar sejarah ilmu nasab (silsilah keturunan) dari para peneliti
mengingkari klaim nasab Maimun (kepada keturuan Ali )."
Pada tahun 402 H sekumpulan ulama, para hakim , intelektual, para
tokoh, orang-orang soleh, ahli fiqih dan ahli hadits menulis tema ceramah
mereka yang isinya celaan dan ketidakbenaran akan nasab Fatimiyah yang
diklaim oleh al-Ubaydiyin. Seluruhnya bersaksi bahwa hakim di Mesir,
yaitu Manshur ibn Nazâr yang bergelar 'al-Hâkim' -semoga Allah hukum
dia dengan kebinasaan, kehinaan dan kehancuran- putra dari Mu'ad ibn
Ismâîl ibn Abdullah ibn Sa'îd –semoga Allah tidak memberinya
kebahagiaan- ketika sampai di Magrib menamakan diri dengan Ubaidillah
dan menggelari diri dengan al-Mahdi. Klaim-klaim serupa dari orang-orang
sebelumnya dilakukan oleh mereka yang berseberangan dengan khilafah
Islamiah di masanya. Tidak ada tali keturunan sama sekali dari silsilah Ali
ibn Abu Thalilb . Klaim kosong tanpa bukti. Ali beserta keturunannya
berlepas diri dari mereka yang merupakan klaim batil dan tipu daya. Tidak
ada satupun dari ahlu bait keturunan Ali ibn Abu Thalib yang berhenti
mencela dan menggelari mereka yang mengaku-aku itu sebagai kelompok
penentang Khilafah Islamiah lagi pendusta.
Pengingkaran terhadap kebatilan mereka ini amat jelas di dua negeri
haram (Mekah dan Madinah) dan pada awal kedatangan mereka di Magrib.
Tersebar sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menutup-nutupinya
atau membenarkan apa yang mereka klaimkan. Hakim Mesir tersebut –
serta mereka yang semisalnya sebelumnya- adalah orang-orang kafir,
fasik, pelaku dosa besar, mulhid, zindik, pengingkar sifat Allah dan
memusuhi Islam, sedangkan mazhabnya meyakini majusi penyembah
5
berhala dan patung. Mereka telah melampaui batas, menghalalkan
perzinaan, khamar, menumpahkan darah, mencela para nabi, melaknat
generasi pertama dan utama Islam serta mengklaim ketuhanan.
Tema ceramah ini ditulis dalam banyak khotbah oleh banyak orang. –
selesai perkataannya-
Yang pertama kali melontarkan bid'ah Maulid Nabi adalah sekte batiniah
yang ingin merubah agama ini, dengan cara mengadakan sesuatu yang
bukan darinya, untuk menjauhkan pemeluknya dari ajaran agama yang
sebenarnya. Jalan paling mudah membunuh sunnah dan menjauhkan
syariat Allah yang penuh toleransi serta sunah Rasulullah yang suci
adalah dengan Menyibukkan ummat dalam bid'ah.
Al-Ubaidiyin masuk Mesir pada tahun 362 H, hari kelima bulan
Ramadhan. Bid'ah perayaan hari kelahiran secara umum dan Maulid Nabi
secara khusus muncul pada masa al-Ubaidiyin. Belum ada dari umat ini
yang melakukan hal itu sebelumnya.
Al-Muqrizi berkata: "Momentum yang dijadikan oleh penguasa Fatimiyun
sebagai hari perayaan dalam setahun:
1. Perayaan akhir tahun.
2. Perayaan tahun baru.
3. Hari Asyuro
4. Maulid Nabi .
5. Maulid Ali ibn Abu Thalib .
6. Maulid al-Hasan .
7. Maulid al-Husain .
8. Maulid Fatimah az-Zahroh .
9. Maulid Khalifah al-Hâdir.
10. Malam pertama bulan Rajab.
11. Malam pertengahan bulan Rajab.
6
12. Malam pertama bulan Sya'ban.
13. Malam pertengahan bulan Sya'ban.
14. Malam Ramadhan.
15. Pertengahan Ramadhan.
16. Samât Ramadhan.
17. Penutupan Ramadhan.
18. Idul Fitri.
19. Idul Adha.
20. Idul Ghadîr (18 Zulhijah).
21. Perayaan musim dingin.
22. Perayaan musim panas.
23. Perayaan Fathul Khâlij (penaklukan jazirah arab).
24. Hari Nairuz.
25. Hari Ghithas.
26. Hari lahir (ulang tahun).
27. Khamîs 'Adas.
28. Hari-hari Rukubât.
Al-Muqrizi kemudian menjelaskan satu persatu perayaan-perayaan
tersebut dan gambaran pelaksanaannya.
Ini adalah pernyataan yang jelas dari al-Muqrizi1 bahwa al-Ubaidiyin
adalah penyebab musibah yang menimpa kaum muslimin. Merekalah yang
telah membuka keran perayaan-perayaan bid'ah ke khalayak. Sampaisampai
mereka juga merayakan perayaan kaum Majusi dan Nasrani. Ini
adalah bukti atas jauhnya mereka dari Islam dan justru memeranginya,
sekalipun mereka tidak mengatakan dan menampakkannya.
1
Dia termasuk yang melegalkan penisbatan Fatimiyun kepada Ali ibn Abu Thalib dan
termasuk yang membela mereka.
7
Hal itu juga membuktikan bahwa enam perayaan maulid yang disebutkan
di atas di antaranya maulid Nabi bukanlah karena kecintaan mereka
kepada Nabi seperti yang diklaim dan dipertontonkan kepada khalayak
dan orang-orang yang tidak bisa dijadikan teladan. Tujuan mereka adalah
untuk menyebarkan karakteristik mazhab mereka yaitu Isma'iliy Batiniy
serta aqidah sesat lain di tengah khalayak. Bertujuan menjauhkan kaum
muslimin dari ajaran agama yang benar dan aqidah yang lurus dengan
memunculkan perayaan-perayaan tersebut, memerintahkan
menghidupkannya, menyemangati dan menyumbangkan harta yang
banyak untuk merealisasikannya.
Sikap Ahlussunnah Wal Jamaah Terhadap Bid'ah Maulid
Ulama Salafussoleh –semoga Allah merahmati mereka- sepakat bahwa
perayaan Maulid Nabi dan perayaan-perayaan lain tidak sesuai dengan
syari'at. Ia merupakan perkara yang diada-adakan, yang disusupkan ke
dalam agama ini. Tidak ada contoh dari Nabi , para sahabatnya, Tabî'ut
Tâbi'în, tidak pula ulama terkemuka dari imam yang empat atau selain
mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
"Adapun mengadakan perayaan selain perayaan yang telah disyari'atkan,
seperti malam Rabiulawal, disebut juga malam maulid, malam-malam di
bulan Rajab, 8 Zulhijah, Jumat pertama Rajab dan 8 Syawal yang
dinamakan dengan Idul Abror merupakan bid'ah yang tidak disukai oleh
salaf (generasi awal) dan tidak pernah mereka lakukan. Wallahu ta'ala
a'lam
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan di dalam kitabnya Iqtidhô as-Shirâtal
Mustaqim:
"Pasal: Yang termasuk kemungkaran dalam bab ini adalah: seluruh
perayaan-perayaan dan musim yang diada-adakan. Ia termasuk
kemungkaran yang makruh (dibenci). Sama saja apakah kemakruhannya
sampai ke derajat haram atau belum.
8
Perayaan ahli kitab dan a'jam (orang asing) terlarang karena dua sebab:
Pertama: unsur tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir.
Kedua: ia merupakan bid'ah dalam agama. Segala perayaan dan musim
yang diada-adakan adalah mungkar sekalipun tidak menyerupai ahli
kitab.
Beliau –rahimahullah- menyebutkan penjelasan hal itu dengan
ungkapannya:
"Yang demikian masuk kategori bid'ah dan muhdatsah (ajaran yang diadaadakan).
Masuk dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam
sahihnya dari Jabir , dia berkata, "Rasulullah jika berkhotbah matanya
memerah, meninggi suara dan temperamennya, bahkan seakan tengah
mengomando pasukan perang, dengan mengatakan sobâhakum wa masâ
akum (waspadalah setiap saat!) seraya berkata:
: (( بعثْتُ قال رسول الله
أَنَا
4ِ 5 ساعَةَ كها 3 وَا
ََْ
((
"Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat seperti ini –beliaupun
merapatkan jari telunjuk dan tengahnya- lalu melanjutkan:
ما3 (( أَ
ن3 عْدُ فإ : َ
ِ
َدِيثِ @ ا ْ = خَ َْ
ْهُدَى ا = وَخَ ُْ 3 كِتَابُ اللهِ
ورِ I الأ GH مدٍ وَ َ 3 َE هُدَى ُ
ُُ
L هَا و 5 ْدَثَا ُ E ُ
Hَُ
بدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ ))
"Adapun selanjutnya: sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah firman
Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan
perkara yang paling buruk adalah bid'ah (sesuatu yang dibuat-buat
dalam agama) dan setiap bid'ah (yang dibuat-buat dalam agama)
adalah sesat." Dalam hadits riwayat an-Nasai:
L (( و
ضلالةٍ 3َُ
ارِ R ا Q ِ
(( 3
"Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
9
Beliaupun menjelaskan bahwa waktu terbagi menjadi tiga, termasuk di
antaranya perayaan terkait suatu tempat dan aktivitas:
Pertama: hari yang tidak di agungkan sama sekali oleh syari'at Islam dan
tidak disinggung oleh generasi salaf, tidak pula ada sesuatu yang
mengharuskan untuk mengagungkannya, seperti Kamis dan Jumat
pertama bulan Rajab, yang dinamakan dengan ar-Raqôib.
Kedua: berlangsungnya suatu peristiwa yang peristiwa itu juga
berlangsung pada waktu yang lain, tanpa ada hal apapun yang
mewajibkannya untuk dirayakan dan generasi salaf tidak ada yang
mengagungkannya, seperti hari ke-18 Zulhijah, saat Rasulullah
berkhotbah di tempat yang bernama Ghadir kham sepulang dari haji
wada'.
Termasuk juga segala yang dibuat-buat oleh sebagian orang; bisa dalam
bentuk menyaingi kaum Nasrani dalam memperingati hari kelahiran Nabi
Isa –alaihi salam- atau karena kecintaan kepada Nabi .
Allah membenarkan kecintaan mereka, tetapi tidak dengan bid'ah yang
dilakukan. Siapa yang menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai hari
perayaan, maka perbuatannya itu tidak pernah dilakukan oleh generasi
salaf (generasi awal) meskipun mereka juga mencintai Nabi dan tidak ada
penghalang untuk juga melakukannya jika itu memang baik. Jika
perayaan maulid murni kebaikan atau rajih (asumsi kuat) tentunya
generasi salaf lebih berhak merayakannya dari pada kita. Jika
kesangatan para sahabat dalam mencintai dan mengagungkan Rasulullah
melebihi kita, tentu mereka lebih peduli jika ada kebaikan. Akan tetapi
ternyata kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi adalah
dengan meneladani, menaati, menjalankan perintahnya, menghidupkan
sunah-sunahnya baik yang lahiriah maupun batiniah, menyebarkan
ajarannya dengan berjihad menggunakan hati, tangan (kekuasaan) dan
lisan. Demikianlah toriqoh (jalan) sabikin al-awalin (generasi pendahulu)
dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti jejak
mereka.
10
Kebanyakan engkau dapati mereka yang peduli dengan bid'ah-bid'ah
seperti ini2 lemah dalam menjalankan ajaran Rasulullah yang telah
diperintahkan untuk melaksanakannya. Mereka hanya sebatas menghias
masjid tetapi tidak shalat di dalamnya atau jarang sekali. Sebatas orang
yang menenteng-nenteng tasbih dan sajadah yang berhias. Hiasan-hiasan
semacam ini menjadi konsentrasi, disertai riya (mengharap pujian), kibr
(kesombongan) dan menyibukannya dari perkara-perkara yang memang
disyaratkan sehingga merusak keadaan pelakunya.
Sumber:
- Kitab Lathâif al-Ma'ârif fî mâ Li Mawâsimil Âm Minal Wadzâif, Ibnu
Rajab.
- Kitab al-Bida' al-Hauliah, Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri.
2
Dengan apa yang ada pada mereka dari maksud yang baik dan ijtihad.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support :
Template Design by Creating Website Published by Dhika Love Dhea